Masjid Al Osmani didominasi warna kuning, warna kebesaran kesultanan melayu. Masjid Osmani bahkan lebih dulu dibangun dibandingkan dengan masjid Raya Al Mahsun di pusat kota medan, Sultan Osman Perkasa Alam, Sultan Deli ke 7 yang pertama kali membangun masjid ini pada tahun 1854. Putra beliau yang kemudian meneruskan tahtanya membangun masjid ini menjadi sebuah bangunan permanen yang masih berdiri kokoh hingga kini.
Masjid Al Osmani
Jl. Yos Sudarso 17,5, Kelurahan Pekan Labuhan
Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan
Sumatera Utara – Indonesia
Perpindahan Ibukota Kesultanan Deli
Sejarah Masjid Al Osmani bermula ketika Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu itu, ke Kampung Alai, sebutan untuk Labuhan Deli dan membangun Istana kerajaan yang lokasinya [dulu] berada di depan Masjid Al Osmani. Pemindahan itu dilakukan setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli (Raja Deli III) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian untuk empat putranya.
Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Mereka adalah :
[1] Sultan Deli ke-4 Tuanku Panglima Pasutan (berkuasa 1728-1761)
[2] Sultan Deli ke-5 Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805)
[3] Sultan Deli ke-6 Sultan Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850)
[4] Sultan Deli ke-7 Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1858)
[5] Sultan Deli ke-8 Sultan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873)
[6] Sultan Deli ke-9 Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924).
Masjid Kesultanan Deli yang pertama dinamai Masjid Al Osmani
untuk mengenang Sultan yang membangunnya, disebut Masjid
Labuhan Deli karena berada di Labuhan Deli, atau Masjid Kuning karena warnanya yang kuning terang sebagai warna kebesaran kesultanan melayu Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) merupakan Sultan Deli yang pernah bertahta di dua Istana. Pada masa pemerintahannya, beliau memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar dengan dibangunnya Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891. Diikuti pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada 1907 dan selesai pada 10 September 1909.
Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, yaitu ketika kerjaan itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada 1863 untuk ditanami tembakau Deli.
Pada tahun 1854 Sultan Deli ke tujuh, Sultan Osman Perkasa Alam membangun sebuah masjid kerajaan di depan istana Kesultanan Deli di Labuhan Deli. Pembangunan masjid kesultanan dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun permanen oleh putra-nya yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam [Sultan Deli ke-8].
Ketika itu rakyat dan kerajaan Melayu Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Rejeki yang berlimpah sebagian digunakan Sultan Mahmud Perkasa Alam, yang berkuasa pada saat itu, untuk menjadikan masjid itu sebagai bagunan megah. Masjid Al Osmani yang dibangun oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam inilah yang kini berdiri kokoh di Labuan Deli.
Rancangan masjid cordoba di Spanyol di citrakan kedalam rancangan masjid Al Osmani ini oleh perancangnya yang - memang berasal dari Eropa
Bila kita menghitung jarak waktu antara perpindahan pusat pemerintahan dari Padang Datar [pusat kota Medan], ke Kampung Alai [Labuhan Deli] di tahun 1728 di masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan [Sultan Deli ke-4] hingga pendirian Masjid Al Osmani di tahun 1854 pada masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] terpaut waktu sekitar 126 tahun, waktu yang cukup lama bagi sebuah kesultanan berdiri tanpa kehadiran sebuah Masjid. Lalu, dimanakah para Sultan dan kerabatnya serta rakyat Deli menyelenggarakan sholat berjamaah selama 126 tahun sebelum masjid Al Osmani di bangun ?.
Sejarah hanya menyebutkan bahwa masjid Al Osmani dibangun oleh Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] tanpa menyebutkan apakah sebelumnya sudah ada tempat yang difungsikan sebagai masjid atau tidak. Boleh jadi sebelum Sultan Osman membangun masjid ini, sudah ada ruang khusus di Istana kesultanan Deli yang difungsikan sebagai mushola / masjid kerajaan yang digunakan untuk beribadah termasuk penyelenggaraan sholat Jum’at dan dua hari raya. Yang pasti butuh penelitian lebih jauh untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.
Sebagai Masjid Kesultanan, dahulunya istana Kesultanan Deli pertama yang dibangun di depan masjid ini sehingga sultan cukup berjalan kaki jika ingin ke masjid. Sekarang setelah lebih dari 150 tahun berlalu istana itu sudah rata dengan tanah, berganti bangunan sekolah dasar. Ketika pertama kali dibangun, ukuran Masjid Al Osmani hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu. Fungsi utamanya sebagai masjid tempat sultan melaksanakan salat serta kegiatan keagamaan dan syiar Islam.
Pada tahun 1870, Sultan Deli ke-8, Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga dan kuningan bersegi delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton Sementara kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah tidak kalah indah dengan Masjid Raya Al Mashun.
Pemugaran berikutnya dilaksanakan pada tahun 1927 yang digagas Deli Maatschappij, perusahaan kongsi Kesultanan Deli dan Belanda. Lantas dilakukan lagi pada tahun 1964 oleh T Burhanuddin, Direktur Utama PT Tembakau Deli II. Rehabilitasi berikutnya dilakukan Walikota Medan HM Saleh Arifin pada tahun 1977. Terakhir, pemugaran dilakukan Walikota Medan Bachtiar Djafar pada tahun 1992.
Arsitektural Masjid Al Osmani
Beberapa kali pemugaran terhadap bangunan masjid ini telah dilaksanakan tanpa menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China. Terdapat tiga pintu utama berukuran besar yang berada di utara, timur, dan selatan masjid dan dulunya hanya digunakan oleh Sultan Deli beserta kalangan istana. Sedangkan rakyatnya masuk melalui empat pintu yang berukuran kecil yang berada di bagian utara dan selatan. Kedua pintu berukuran kecil itu mengapit pintu utama.
Di bagian dalam masjid ber-kapasitas 500 jamaah ini terdapat empat tiang besar dan kokoh berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lain. Empat penyangga itu juga mempunyai arti menjunjung empat sifat kenabian, yakni sidiq [benar], amanah [dapat dipercaya], fathonah [pintar], dan tabligh [menyampaikan].
Bentuk Kubah masjid Al Osmani
memang tidak lazim, membuanya
tampil beda dibandingkan masjid
masjid tua lainnya Layaknya sebuah masjid tua dan milik kerajaan, pekarangan masjid ini juga dijadikan lahan pemakaman. Di pemakaman masjid ini terdapat lima makam Sultan Deli yang pernah berkuasa di Istana Labuhan Deli, mereka adalah : Tuanku Panglima Pasutan (Sultan Deli ke-4), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Sultan Deli ke-5), Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Sultan Deli ke 6), Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan Deli ke-7), dan Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli ke-8)
Masjid Al Osmani Kini
Kondisinya saat ini, masih menunjukkan kemegahan pada zamannya. Sebuah mimbar dari kayu berukir, jam dinding antik dan lampu gantung dari kristal menjadi ornamen yang memperindah bagian dalam masjid. Dominasi warna kuning dan hijau dinding bangunan menjelaskan entitas Melayu yang melekat pada masjid tersebut. Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan jemaah haji yang berasal dari wilayah Medan utara menuju pemondokan jamaah haji.
Wallahua'lam bishshowwab
Semoga bermanfaat